Kamis, 15 Oktober 2015

Gadis-gadis kecil penjual koran


Gadis-gadis kecil penjual koran

Biarkan mata mengadah ke atas
Mencari, menemukan, lorong kecil di bumi yang luas
Berlari-larian seperti orang hutan terlihat beringas
Memberikan tawaran setumpuk bacaan dalam lembaran kertas

Jejak-jejak kacil mereka dibalas hanya dengan sekilas tolehan
Masih mengadu harap, mendapat setetes air belas kasihan
Koran! Koran! Teriak gadis-gadis kekurangan makan
Tapi, apa ada mereka yang memperdulikan?

Henti sejenak, berpangku tangan, gadis-gadis itu mendadak kaya dalam imajinasi
Masuk dan bersuka ke dalam dunia yang disebut mimpi
Makanan, pakaian, dan uang, sepertinya mudah didapati
Mendadak bangun mereka, karena asap mulai menggerogoti

Segerombolan orang asyik menanti waktu untuk pergi
Seakan buta mata untuk melihat, rusak telinga untuk mendengar, tertutup hati untuk mengasih
Koran! Koran! Gadis-gadis itu butuh belas kasihan
Tapi, apa saya mau memperdulikan?














Senin, 07 September 2015

MIRA MENANTI RIMA

"Ini kali kedua aku bersenggolan dengan kamu, pembawa sial! Lihat apa yang kamu miliki saat ini? Semua orang yang ada disekitarmu pergi. Tidak ada sedikitpun harta yang ditinggalkan. Dan, sekarang kamu menjadi pelacur jalanan yang meminta sedekah dari laki-laki yang menculuti bagian-bagian berhargamu. Apakah kamu masih tidak sadar betapa murahnya harga dirimu!”
Mira tertunduk diam. Dihapus semua bekas ciuman di bibirnya dan diperbaiki tali yang terjatuh dari bahunya, hampir terlihat gundukan besar yang selama ini menggoyahkan iman sang pujangga. Mira sadar sekali bahwa dia tidah lebih dari sampah, terbakar hangus, menguap, melebur ke dalam partikel-partikel udara lalu terbawa pergi entah kemana.

Di ruangan ini sekarang Mira mengupas kenangan lama, terbalut dengan kehangatan, dikelilingi kerikil-kerikil kecil, memeluk dan mendekap untaian kasih yang tak akan pernah putus. Namun, cerita itu seperti pasir di pantai terbawa angin laut yang tak mungkin kembali. Mira kembali ke habitat aslinya ketika dia membuka mata, meneteskan peluh yang mengandung air tak terbendung banyaknya. Dipalingkan wajahnya dari laki-laki yang sedang bermain di arena tubuhnya, mencengkeram, dan melahapnya tanpa lelah. Ketika permainan itu selesai, lembaran rupiah akan masuk ke dalam kantung kosong yang terus masih kosong walau dia kelihatan penuh.

“Berapa lama lagi kamu harus seperti ini? Mengapa kamu susahkan pikiranmu memikirkan orang yang tak pernah mengingat namamu di dalam harinya? Apa yang sekarang kamu dapatkan? Wajahmu babak belur begini!
“Banyak sekali pertanyaanmu! Aku sedang sakit. Otakku tidak bisa bekerja untuk memberikan argumen-argumen, meyakinkanmu kalau aku tidak bodoh karena mencintainya”
Mira mendekat ke tempat sahabatnya yang terbaring lemas. Di ambilnya sapu tangan untuk menghapus darah yang menetes di bibir lembutnya.
“Aku sudah mengakhirinya Mira. Darah ini tidak sebanding dengan tetesan luka hatiku yang berulat, membusuk, dan mengeluarkan bau-bau kebencian. Aku sendirian Mira! Tolonglah aku!”
“Mira ada di sini Rima! Aku tidak kemana-mana!”. Pelukan lembut dari Mira menghangatkan luka Rima yang meledak di dalam satu ketulusan dan menyadarkannya untuk berdamai dan melupakan setiap kepahitan.
Rima masih selalu teringat cerita ini. Cerita tentang ketulusan sahabatnya yang selalu mempunyai tempat dan waktu untuk mendengarkan cerita-cerita dan pilihan-pilihan bodohnya. Terkadang pilihan-pilihan itu memaksakan Mira untuk terlibat bahkan kesusahan di dalam menyelesaikannya. Tetapi, tidak pernah sedikitpun dia mengeluarkan kata lelah.
Di tempat baru ini, tidak pernah sedetikpun dia menemukan kembali ketulusan itu. Sehingga, dengan bulat hati Rima memutuskan untuk mengambil kembali ketulusan itu. Bukan hanya sekedar mengambil, dia berharap Mira juga mau menerima ketulusannya yang datang terlambat.

“Kamu masih ingat dengan aku?” Rima bertanya kepada lelaki yang dulu memberikannya luka dan darah dalam bungkusan cinta. Lelaki itu terdiam. Rima membalas tatapan keras dari lelaki itu. Tatapannya masih sama seperti dulu. Tidak ada sedikitpun yang berubah dari dirinya.
“Aku tidak mungkin pernah lupa! Kebodohanmu memaksaku untuk terus mengingatnya” Lelaki itu menundukkan wajahnya.
 “Aku sudah memaafkanmu!” Rima memegang tangannya untuk membangunkan kembali mentalnya yang tertidur di dalam penyesalan. Aku tidak pernah menyesal sedikitpun pernah menjadi bagian di hidupmu. Aku mengerti maknanya ketulusan dari kasih di dalam setiap pukulan dan hinaanmu karena di sana ada seorang sahabat yang menyambutku dengan kehangatan kasihnya. Kalau kamu punya waktu, antarlah aku ke tempat dimana aku harusnya membalas kasih itu!”
Rima melaju cepat. Langkahnya terarah pada satu tempat dengan khayalan kehangatan wajah sahabat itu menyinari setiap senyumannya. Dia tidak membawa catatan alamatnya karena di sepanjang jalan, bibirnya bergerak bebas menyebutkan “Hotel Pelangi, Jl. Dipenegoro, No 15”. Rima kini sudah berada tepat di depan kamarnya. Namun, nyalinya menciut ketika dia ingat bahwa dulu Mira ditinggalkannya sendiri. Dia hanya berdiri di depan pintu dengan berharap bahwa Mira pasti akan membukanya. Lebih dari tiga jam sudah dia berdiri tegak. Orang yang lalu-lalang hanya memandangnya bingung. Sesaat mereka berhenti, tetapi hanya menoleh. Rima tidak peduli dengan mereka karena dia bukan seorang teroris yang perlu untuk dipusingkan.
Tiba-tiba terdengar suara bunyi pintu yang akan segera dibuka. Rima menarik nafasnya dalam-dalam. Memperbaiki adrenalin yang bergerak naik-turun dengan cepat. Dihiasi wajahnya dengan senyum kerinduan. Ketika pintu dibuka, dia melihat seorang pria botak dan tua sedang memberukan ciuman-ciuman bernafsu bejat. Dicarinya posisi dimana dia bisa melihat wajah gadis itu karena dia tidak percaya bahwa itu adalah Mira. Tepat, mata mereka kini beradu, Jiwanya serasa terkoyak habis hancur ke tanah.
Mereka kini ada di atas tempat tidur, terpisah jarak, hanya punggung saja yang bertemu.
“Sejak kapan kamu merokok Mira?”
“Sejak kapan kamu peduli Rima?”
Rima mendekat kepada sahabatnya, berlutut tepat di hadapannya, sambil memegang kedua tangannya, dia berkata, “Kembalilah! Kembalilah Mira!”
Mira melepaskan genggamannya, sambil menghembuskan asap rokok, Mira menjawab dengan keras, “Kemana aku harus kembali?”
“Ke tempatku! Ikutlah bersamaku Mira. Di sana kita bisa mengulang kasih yang dulu sempat kita bagikan. Kamu bisa tinggal di rumahku sampai kamu mendapatkan pekerjaan, punya banyak uang, atau sampai kamu menemukan pangeran tampan impianmu”
Mira membuang rokok dan menginjak-injaknya dengan kuat. “Ikut? Ikut katamu? Aku ini hanya gadis sial yang kotor dan tak layak hidup berteman!
“Sahabat tidak akan pernah pergi Mira!”
“Sejak kapan kamu belajar berbohong Rima? Dua tahun kamu meninggalkanku dengan janji-janji kebersamaan palsu. Aku sebatang kara. Apa kamu pernah tahu?”
“Setiap orang punya cita-cita yang harus dipenuhi Mira. Aku juga perlu memenuhi kebutuhanku. Kalau aku tidak pergi, siapa yang mau menanggungku?”
“Janjimu adalah setelah kita lulus, kita bersama-sama mencari pekerjaan di kota besar ini Rima. Semuanya sudah kutulis didalam ingatan-ingatanku yang sempit sehingga tidak ada ruang bagiku untuk mempersiapkan kepergianmu! Atau uang lebih berharga dari jiwa yang hina seperti aku?”
“Aku tidak bisa memutar otak untuk memberikan argument-argumen kalau aku sangat menyayangimu sebagai sahabatku. Ingatkah kamu pesan maaf yang kutuliskan sebelum aku pergi. Aku tahu bahwa pemikiranmu sudah tertuju dengan setiap kebohongan-kebohonganku selama ini sehingga kamu lupa bagian akhir dari suratku bahwa aku akan kembali untuk membawamu dan kita bisa terus bersama-sama di kotaku. Kota ini tak berpihak pada orang sebatang kara seperti kita. Kali ini dengarlah bujuk rayu sahabatmu, dengan lelah menghabiskan hidupnya yang terlambat sadar membalas ketulusan kasih darimu. Ikutlah aku!”. Air matahnya memecah, membanjiri setiap celah wajah cantik itu.
Mira menatap Rima dengan penuh kepedihan. Diambilnya jaket yang ada dihadapannya. Ditinggalkan Rima yang berurai di atas kasur itu. Sejenak dia berhenti, sambil berkata, “Mira ada disini Rima! Aku tidak keman-mana”






  

Kamis, 29 Januari 2015

Harta dan Tahta

Dahulu kala, hiduplah seorang pemuda yang sangat kaya raya. Semua tanah yang ada didaerahnya merupakan peninggalan sang ayah. Pemuda tersebut dengan terpaksa diangkat menjadi raja di daearahnya. Suatu hari, pemuda ingin pergi berburu. Ia memerintahkan semua pegawainya mempersiapkan apa yang diperlukan tuannya. Semua pegawai bergerak cepat karena takut mendapatkan hadiah bentakan tuannya. Tidak ada satu pegawaipun yang bernafas secara normal. Pemuda ini sangat dingin. Tidak pernah ada pujian yang terlontar dari mulutnya. Mereka bersiap-siap untuk berjalan menuju ke sebuah hutan yang paling luas dan paling rimba di seluruh daerah tersebut. 
Di pertengahan jalan, pemuda itu berteriak, “Akulah raja yang berkuasa di daerah ini. Semua makhluk hidup harus tunduk kepadaku”. Para pegawai menunduk seperti malu melihat kelakuan tuannya.
Ketika tiba, Tuannya memerintahkan satu pegawai yang paling cakap untuk membantunya. Dia adalah pegawai yang paling dekat dengan tuannya. Si Kakek. Dia merupakan pegawai paling tua yang setia menemani pemuda itu sejak dari kecilnya. Dialah yang sanggup menerima kelebihan dan kekurangan pemuda tersebut.Kemudia, mereka berdua mulai berjalan menyusuri jalan tersebut dengan membawa senapan besar yang dibaru dibeli dari Belanda.
“Kakek, aku yakin, satu peluru ini akan menghancurkan tulang-tulang seekor harimau besar. Dan, kita bisa memerintahkan beberapa rakyat untuk membuatnya menjadi pakaian kebanggaanku” Pemuda itu berbicara dengan bangganya. Seperti biasanya, kakek tersebut tidak pernah memberi komentar apapun. Dia tahu sekali bahwa kata tidak akan menghilangkan satu kepala manusia.
Di pertengahan jalan, Pemuda melihat satu ekor harimau besar. Pemuda berbisik kepada sang kakek, “ Pergilah menyingkir dan lihatlah bagaimana aku menyelesaikannya”. Belum meluncurkan jari telunjuknya, seorang gadis cantik, bahkan tercantik mencoba untuk menangkap harimau itu. Pria itu terpanah melihat paras wajah sang gadis. Tangannya lemah seingga senapan itu terjatuh di tanah.
“Apakah tuan baik-baik saja?” Si Kakek bertanya.
Pemuda itu hanya terdiam dan tak berbicara apapun. Dia sedang asyik melihat wajah dan lekukan tubu sang gadis yang begitu indah. Dengan gaun berwarna putih dia mengajak harimau itu berdansa. Pemuda sedang membayangkan dirinya yang berdansa bersama dengan gadis itu.
“ Tuan…….Tuan…..Tuan”  Si Kakek berteriak di telinganya.
 Apakah yang kau lakukan kakek?. Kau hampir saja memecahkan gendang telingaku.
Kakek tadi melihat tuan seperti mayat hidup saja. Tuan tidak bergerak sama sekali ketika saya panggil.
Aku mati karena si bidadari kek.
Ah? Bidadari? Dimana Tuan? Jadi, benar cerita-cerita orang kampong ini kalau di daerah kita ada bidadari?
Iya kakek, bahkan yang ini lebih cantik dari bidadari.
Apa? Adakah gadis yang lebih cantik dari bidadari?.
Ada. “Tuh” Si pemuda menunjuk kea rah gadis tersebut.
O…. Itu gadis di desa sebelah. Dia bekerja sebagai pemanen kayu manis di desa itu. Dia memang terkenal paling cantik dan paling rajin di daerahnya. Sudah banyak pria yang mengejar-ngejar dia namun semuanya ditolak.
“Hahahahahah. Terang saja mereka ditolak, tak punya apa-apa, masih berani mendapatkan gadis ini. Percaya padaku kek satu kata akan membawa gadis itu kepelukanku. Tidak ada seorang manusia pun yang berani menolakku.  
Pemuda  mencoba untuk mendekati si gadis. Namun, belum 5 langkah, si harimau berteriak. Gadis tersebut menoleh dengan lembutnya. Sejenak, dada si pemuda berdetak begitu cepatnya.
“Hai gadis, aku hanya ingin berkenalan denganmu. Siapakah namamu. Maukah kamu menjadi pendampingku?”.
Si gadis ternganga mendengar pertanyaa pemuda tersebut. “Kamu gila”.
Iya, aku gila. Aku gila karenamu. Karena kecantikanmu. Jika kau menjadi pendampingku kita akan bersama-sama menjadi penguasa di daerah ini. Adakah hal lain lagi yang diinginkan manusia?
Sambil menggeleng si gadis berkata, “Engkau lupa akan banyak hal pemuda. Bagimu harta dan tahta segalanya. Bagiku itu semua tiada berguna. Banyak pemuda yang lebih kaya dari padamu dan lebih bertahta dibandingkan engkau yang ingin mendapatkanku. Semuanyapun aku tidak terima. Aku sudah bosan dengan apa yang engkau tawarkan. Lebih baik engkau pergi daripada mati dimakan oleh hewan-hewan ini”.
Wajah pemuda tersebut terlihat memerah. Baru pertama kali ini dia ditolak dan diusir. Seketika wajahnya mulai memerah. Darahnya naik seperti mau pecah tubuh itu. Ingin rasanya peluru itu disarangkan ke tubuh gadis yang disebutnya bidadari namun hatinya tidak rela kehilangan dia.
“Ayo kek, kita pergi. Semoga kau tidak menyesal dengan keputusanmu”.
Gadis dan harimau itu pun kembali berdansa seperti tidak ada hal besar yang telah terjadi. Semakin mengamuklah pemuda itu di dalam hatinya. Dengan segera pemuda dan kakek berlari menuju ke tempat pegawai-pegawainya yang sedang menunggu. Sesampainya di tempat itu, pemuda mengarahkan senapannya ke atas kepalanya semua peluru berterbangan ke segala arah. Para pegawai menutupi kuping karena kerasnya suara yang dikeluarkan. Pemuda tidak memperdulikan sekelilingnya yang dia tahu bahwa darahnya ingin segera keluar dari tubuh.
“Jika ada yang berani menolak bahkan mengusirku, Penggal kepalanya!”
Setelah kejadian itu, keadaan di rumah pemuda semakin parah. Semua pegawai mulai dibentak-bentak. Jika air yang diminta terlalu panas, pemuda akan menyiramkan ke muka yang mengantarnya. Jika makanan dia rasa terlalu asin maka akan ditambahkan garam jauh lebih banyak dan meminta pegawai untuk memakannya. Saat malam, kalau pemuda tidak bisa tidur maka semua pegawai harus berkumpul di ruangannya membacakan cerita jika ada pegawai yang tertidur maka bantal akan bersarang di wajahnya. Tidak kuat dengan perlakuan pemuda, si kakek memutuskan untuk mencari si gadis itu dan membawanya ke rumah pemuda. Habis waktu si kakek akhirnya dia menemukan juga gadis itu di hutan yang kemarin dia datangi.
“Gadis, tolonglah aku. Bersediakah kau datang ke rumah tuanku?. Jika tidak, maka matilah aku”.
“ Si gadis terperangah melihat wajah mengemis sang kakek. Di dalam hati dia merasa kasihan dengan si kakek namun di sisi lain dia tidak suka dengan pemuda itu karena telah mendengar cerita-cerita penderitaan orang-orang karena perilakunya. Namun, wajah kakek tua itu menghalangi keinginan hatinya untuk menjauhi pria itu. “Ayolah kek” Si gadis megajaknya dengan lembut”.


 “Tuanku, tuanku” Pegawai mengetuk pintu memanggil tuannya.
“Ada Apa? Masih kurangkah kalian menyiksaku berhari-hari ini?” Pemuda membentak.
“Kakek membawa seorang gadis. Gadis itu sangat ingin bertemu dengan tuan”.
Pemuda berkata di dalam hati, “Dia menyesali tindakannya juga”.  Pintu terbuka. Ketika pemuda melihat muka pegawainya, wajah pegawai tersebut mulai menunduk dan terlihat sangat ketakutan sekali. Pemuda itu berlari cepat menuju ke ruang tamu sambil merapikan pakaiannya.
“Sudah kubilang, tak ada orang yang bisa menolakku gadis” .
“Aku datang bukan untukmu tetapi untuk si kakek. Kakek bilang dia akan mati kalau aku tidak mau menuruti permintaannya. Jauh dari lubuk hatiku sedikitpun aku tidak rela untuk menemuimu”.
“Lancang mulutmu, gadis!. Kau pikir, kau ini siapa?”.
“Aku memang tidak mempunyai harta. Rumahpun aku tidak punya. Namun aku punya banyak hal yang tidak kau miliki. Bukankah juga mengejar-ngejar aku?. Merana dirimu karena aku menolakmu. Gadis manapun tidak akan pernah mau bersuamilan pemuda seperti kau yang hanya berkepalakan harta dan tahta”. Pemuda itu berlari mendekati si wanita. Sambil menarik rambutnya dengan kuatnya, pria itu berkata, “Asal kau tahu dengan menunjuk suatu jari aku bisa mendapatkan seribu wanita secantik kau.”
“Kenapa tidak kau lakukan? Kenapa hendak kau matikan semua pegawaimu setelah pertemuan kita?” Si gadis masih dengan kuatnya melawan pemuda. Sambil menggoyangkan tubuhnya, dia berkata,”Sedikitpun tiada takutku berhadapan denganmu” Lanjut si gadis”.
“Diaaaammmm” Belum selesai pemuda itu berteriak, si gadis menendang kakinya dengan kuat sehingga terjatuh. Si gadis berlari dengan kecangnya. Pemuda berteriak, “ Pegawai-pegawai, cepat kejar gadis gila itu!”. Semua pegawai mulai keluar dari ruangan masing-masing dan mulai mengejar gadis tersebut. Namun, gadis itu berlari dengan sangat kencang cepat sekali dia menghilang dari pandangan. Ketika kakek melihat tuannya, kakek berkata, “Tuan, hentikan ini semua. Harta dan tahta tiadalah berguna. Pemuda tidak mendengarkannya. Dirubuhkan tubuh kakek tua itu ke lantai dan berlari menuju si gadis.
          Setengah jam berlari, akhirnya pemuda dan pegawai itu menemukan si gadis di hutan yang dia kunjungi itu.
“Berhentilah mengejarku pemuda. Disini kita bertemu, disini juga kita akan mengakhirinya”
“Ya, kita akan akhiri, jika aku lihat kepalamu terbelah dua”.
Ketika ingin menangkap dang gadis terdengarlah suara auman dari segala arah. Di saat itu jugalah dilihat oleh pemuda ada banyak singa, harimau, musang, dan gajah seperti hendak menerkamnya. Para pegawainya pun berlarian dan meninggalkan dia sendiri. Ketika dia hendak berlari, berkatalah si gadis, “Berhenti! Atau kau akan mati. Sekali saja aku menunjukkan jariku maka seribu hewan hutan ini akan mengabisimu.
Mengerti situasinya sangat terjepit, pemuda bersujud dan memohon, “Janganlah lakukan ini padaku, apapun yang kau inginkan akan kuberikan asalah jangan kau matikan aku”.
“Aku tidak berniat untuk mematikanmu pemuda. Dirimu sendirilah yang menginginkannya. Masih ingatkah kau dengan perkataanku bahwa ada banyak hal yang kau tidak mengerti. Yang tidak kau mengerti itu adalah Kasih.
Kasih itulah yang membuat binatang-binatang ini mau membantuku. Apakah kau lebih rendah daripada binatang sehingga kau tidak mengertinya?. Pernahkah engkau berjalan-jalan di sekitaran daerah ini dan melihat ada berapa banyak orang yang menderita karena perbuatanmu. Pajak kau naikkan. Semua tanah kau rampas. Semua gadis cantik harus menjadi milikmu. Setiap pemuda yang tampan dan kaya akan kau matikan. Bahkan untuk makan pun kau yang tunjukkan jenis-jenisnya. Apa kau Tuhan? Kau hanya manusia biasa yang karena pertolonganNya diberikan kuasa. Satu gigitian harimau ini saja bisa menghabisi nyawamu pemuda. Kau kira kau punya segalanya? Kau adalah orang yang paling miskin dan hina di dunia ini. Karena binatang pun tak perlu beli pakaian, makanan, dan juga minuman untuk tetap hidup. Tidak seperti kau.
Pemuda itu terdiam dan seketika dia mencoba untuk berlari menjauhi gadis itu. Gadis berkata, “ Biarkan dia pergi, nanti juga manusia pasti mati”.
          Pemuda berlari sekencang mungkin. Pedih juga hatinya mendengar perkataan si gadis. Makin deras air mata keluar, makin kencang dia berlari. Tanpa sadar, dia menabarak sebuah pohon sehingga terjatuh dan berguling.






Selasa, 27 Januari 2015

Kumpulan puisi


Tanah Segudang Cinta
Berlahiran manusia di tanahku ini
Bersuburan bunga mekar di segala tempat
Tidak ada mulut yang mencoba mengagumi
Semuanya sedang asyik mengumpat
            Coba selami sampai kepenjuru bumi
            Adakah kau temukan tempat seindah  ini?
            Mungkin, mulut itu masih malu mengagumi   
            Awas letih nanti karena patah hati
Ditabur dan Dituai itu bagian hidupku
Habiskan saja sesuka-sukamu
Aku juga tidak bisa mengeluh
Bersabarku hanya demi kesenanganmu
            Masih kurang bahagia kau dengan ini semua?
            Dulu aku dijajah kau tidak diam saja
            Bahkan kau  rela menghabiskan seluruh jiwa raga
            Apa itu karena kau takut didera?
Harus, kubuat gudang yang bertuliskan cinta
Biar tidak berbelok ke segala arah
Ini tanah, air, rumput bertandakan cinta
Masihkah ada alasan untuk meresah?

Hadiah yang berarti Untukku
Begitu banyak hal yang diinginkan oleh manusia
Bermacam-macam yang dikejar-kejar pula
Mencari dan terus mencari sampai huru-hara dunia
Terbengkala apa yang sebenarnya nyata di mata
            Tiada terlihat nafas yang mulai tersendat-sendat
            Jiwa-jiwa yang mungkin berteriak untuk tetap beradat
            Lalu, buat apa huru-hara kalau nanti mati pula
Buat apa letih sampai perih hati kalau nanti juga akan pergi
Lebih baik berdiam diri menunggu waktu
Utuh diriku tanpa siapapun yang menyerbu
Bukankah kali ini telah bertambah umurku
Apa gerangan aku menggerutu
            Aku tidak punya kekuatan untuk memerintahkan manusia
            Karena aku juga terkurung disini dalam hukum yang dibuat manusia
            Bukankah harusnya manusia menjadi manusia?
            Tidak, aku seperti orang munafik saja karena aku juga tidak bisa tanpa mereka
Mengapa aku masih terus menggerutu?
Bergetar dan demam tubuhku memikirkan ini dan itu
Derita di dada bukan hadiah yang layak untukku
Aku yang lelah dan  tak mungkin mengadu
            Sedih ini bukanlah arti
            Wajah-wajah mungil mereka juga akan mengobati hati
Lelah pedih akan terkubur sendiri 
            Nafas ini menjadi hadiah yang sangat berarti