MIRA
MENANTI RIMA
"Ini kali kedua aku bersenggolan
dengan kamu, pembawa sial! Lihat apa yang kamu miliki saat ini? Semua orang
yang ada disekitarmu pergi. Tidak ada sedikitpun harta yang ditinggalkan. Dan,
sekarang kamu menjadi pelacur jalanan yang meminta sedekah dari laki-laki yang
menculuti bagian-bagian berhargamu. Apakah kamu masih tidak sadar betapa
murahnya harga dirimu!”
Mira tertunduk diam. Dihapus semua bekas
ciuman di bibirnya dan diperbaiki tali yang terjatuh dari bahunya, hampir
terlihat gundukan besar yang selama ini menggoyahkan iman sang pujangga. Mira
sadar sekali bahwa dia tidah lebih dari sampah, terbakar hangus, menguap,
melebur ke dalam partikel-partikel udara lalu terbawa pergi entah kemana.
Di ruangan ini sekarang Mira mengupas
kenangan lama, terbalut dengan kehangatan, dikelilingi kerikil-kerikil kecil,
memeluk dan mendekap untaian kasih yang tak akan pernah putus. Namun, cerita
itu seperti pasir di pantai terbawa angin laut yang tak mungkin kembali. Mira
kembali ke habitat aslinya ketika dia membuka mata, meneteskan peluh yang
mengandung air tak terbendung banyaknya. Dipalingkan wajahnya dari laki-laki
yang sedang bermain di arena tubuhnya, mencengkeram, dan melahapnya tanpa
lelah. Ketika permainan itu selesai, lembaran rupiah akan masuk ke dalam
kantung kosong yang terus masih kosong walau dia kelihatan penuh.
“Berapa lama lagi kamu harus seperti ini?
Mengapa kamu susahkan pikiranmu memikirkan orang yang tak pernah mengingat
namamu di dalam harinya? Apa yang sekarang kamu dapatkan? Wajahmu babak belur
begini!
“Banyak sekali pertanyaanmu! Aku sedang
sakit. Otakku tidak bisa bekerja untuk memberikan argumen-argumen, meyakinkanmu
kalau aku tidak bodoh karena mencintainya”
Mira mendekat ke tempat sahabatnya yang
terbaring lemas. Di ambilnya sapu tangan untuk menghapus darah yang menetes di
bibir lembutnya.
“Aku sudah mengakhirinya Mira. Darah ini
tidak sebanding dengan tetesan luka hatiku yang berulat, membusuk, dan mengeluarkan
bau-bau kebencian. Aku sendirian Mira! Tolonglah aku!”
“Mira ada di sini Rima! Aku tidak
kemana-mana!”. Pelukan lembut dari Mira menghangatkan luka Rima yang meledak di
dalam satu ketulusan dan menyadarkannya untuk berdamai dan melupakan setiap
kepahitan.
Rima masih selalu teringat cerita ini.
Cerita tentang ketulusan sahabatnya yang selalu mempunyai tempat dan waktu untuk
mendengarkan cerita-cerita dan pilihan-pilihan bodohnya. Terkadang
pilihan-pilihan itu memaksakan Mira untuk terlibat bahkan kesusahan di dalam
menyelesaikannya. Tetapi, tidak pernah sedikitpun dia mengeluarkan kata lelah.
Di tempat baru ini, tidak pernah sedetikpun
dia menemukan kembali ketulusan itu. Sehingga, dengan bulat hati Rima
memutuskan untuk mengambil kembali ketulusan itu. Bukan hanya sekedar
mengambil, dia berharap Mira juga mau menerima ketulusannya yang datang
terlambat.
“Kamu masih ingat dengan aku?” Rima
bertanya kepada lelaki yang dulu memberikannya luka dan darah dalam bungkusan
cinta. Lelaki itu terdiam. Rima membalas tatapan keras dari lelaki itu.
Tatapannya masih sama seperti dulu. Tidak ada sedikitpun yang berubah dari
dirinya.
“Aku tidak mungkin pernah lupa!
Kebodohanmu memaksaku untuk terus mengingatnya” Lelaki itu menundukkan wajahnya.
“Aku
sudah memaafkanmu!” Rima memegang tangannya untuk membangunkan kembali
mentalnya yang tertidur di dalam penyesalan. Aku tidak pernah menyesal
sedikitpun pernah menjadi bagian di hidupmu. Aku mengerti maknanya ketulusan
dari kasih di dalam setiap pukulan dan hinaanmu karena di sana ada seorang
sahabat yang menyambutku dengan kehangatan kasihnya. Kalau kamu punya waktu,
antarlah aku ke tempat dimana aku harusnya membalas kasih itu!”
Rima melaju cepat. Langkahnya terarah pada
satu tempat dengan khayalan kehangatan wajah sahabat itu menyinari setiap
senyumannya. Dia tidak membawa catatan alamatnya karena di sepanjang jalan,
bibirnya bergerak bebas menyebutkan “Hotel Pelangi, Jl. Dipenegoro, No 15”. Rima
kini sudah berada tepat di depan kamarnya. Namun, nyalinya menciut ketika dia
ingat bahwa dulu Mira ditinggalkannya sendiri. Dia hanya berdiri di depan pintu
dengan berharap bahwa Mira pasti akan membukanya. Lebih dari tiga jam sudah dia
berdiri tegak. Orang yang lalu-lalang hanya memandangnya bingung. Sesaat mereka
berhenti, tetapi hanya menoleh. Rima tidak peduli dengan mereka karena dia
bukan seorang teroris yang perlu untuk dipusingkan.
Tiba-tiba terdengar suara bunyi pintu yang
akan segera dibuka. Rima menarik nafasnya dalam-dalam. Memperbaiki adrenalin
yang bergerak naik-turun dengan cepat. Dihiasi wajahnya dengan senyum
kerinduan. Ketika pintu dibuka, dia melihat seorang pria botak dan tua sedang memberukan
ciuman-ciuman bernafsu bejat. Dicarinya posisi dimana dia bisa melihat wajah
gadis itu karena dia tidak percaya bahwa itu adalah Mira. Tepat, mata mereka
kini beradu, Jiwanya serasa terkoyak habis hancur ke tanah.
Mereka kini ada di atas tempat tidur, terpisah
jarak, hanya punggung saja yang bertemu.
“Sejak kapan kamu merokok Mira?”
“Sejak kapan kamu peduli Rima?”
Rima mendekat kepada sahabatnya, berlutut
tepat di hadapannya, sambil memegang kedua tangannya, dia berkata, “Kembalilah!
Kembalilah Mira!”
Mira melepaskan genggamannya, sambil
menghembuskan asap rokok, Mira menjawab dengan keras, “Kemana aku harus
kembali?”
“Ke tempatku! Ikutlah bersamaku Mira. Di
sana kita bisa mengulang kasih yang dulu sempat kita bagikan. Kamu bisa tinggal
di rumahku sampai kamu mendapatkan pekerjaan, punya banyak uang, atau sampai
kamu menemukan pangeran tampan impianmu”
Mira membuang rokok dan menginjak-injaknya
dengan kuat. “Ikut? Ikut katamu? Aku ini hanya gadis sial yang kotor dan tak
layak hidup berteman!
“Sahabat tidak akan pernah pergi Mira!”
“Sejak kapan kamu belajar berbohong Rima?
Dua tahun kamu meninggalkanku dengan janji-janji kebersamaan palsu. Aku
sebatang kara. Apa kamu pernah tahu?”
“Setiap orang punya cita-cita yang harus
dipenuhi Mira. Aku juga perlu memenuhi kebutuhanku. Kalau aku tidak pergi, siapa
yang mau menanggungku?”
“Janjimu adalah setelah kita lulus, kita
bersama-sama mencari pekerjaan di kota besar ini Rima. Semuanya sudah kutulis
didalam ingatan-ingatanku yang sempit sehingga tidak ada ruang bagiku untuk
mempersiapkan kepergianmu! Atau uang lebih berharga dari jiwa yang hina seperti
aku?”
“Aku tidak bisa memutar otak untuk
memberikan argument-argumen kalau aku sangat menyayangimu sebagai sahabatku.
Ingatkah kamu pesan maaf yang kutuliskan sebelum aku pergi. Aku tahu bahwa
pemikiranmu sudah tertuju dengan setiap kebohongan-kebohonganku selama ini
sehingga kamu lupa bagian akhir dari suratku bahwa aku akan kembali untuk
membawamu dan kita bisa terus bersama-sama di kotaku. Kota ini tak berpihak pada
orang sebatang kara seperti kita. Kali ini dengarlah bujuk rayu sahabatmu,
dengan lelah menghabiskan hidupnya yang terlambat sadar membalas ketulusan
kasih darimu. Ikutlah aku!”. Air matahnya memecah, membanjiri setiap celah
wajah cantik itu.
Mira menatap Rima dengan penuh kepedihan.
Diambilnya jaket yang ada dihadapannya. Ditinggalkan Rima yang berurai di atas
kasur itu. Sejenak dia berhenti, sambil berkata, “Mira ada disini Rima! Aku
tidak keman-mana”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar