Minggu, 04 Desember 2016

Christmas is Coming part 1



Celebrate a birthday party but “The Birthday-man” is not there.
Where is He?”
One day, I went to my boy student party. The house was decorated by all blue trinkets. The blue cake was beautifully seen on the table which some blue balloons on its corner. Back of that, A boy was sitting with a big smile to show the guest that today was a very special day. From his face, I can see the happiness. When we sang a birthday song, He really persuaded us to celebrate this day together. In         making a wish time”, we all together wished the best of Him. We engage each person in that party.
This event reminds me again what I am doing in this Christmas season. When it comes, we usually decorate our rooms, make some delicious food, drink, or cake. We also use our best, new suits to celebrate it. At that time, when we are in the room party, the light is off and we say, ”Make a wish! Make a wish”. Then, the candle is on but The Birthday Man is not there. We glance each other as asking question, “Where is He”. We are looking to find Him by going around the room to every corner of it. We wait for some hour until we get tired. At the end, we decide to go home and run our own life. We have to go back to our life routine and we already forget about “The Birthday Man”.
This is what happens in the Christian life like us. Christmas is all about a year routine agenda. We are getting tired in preparing the room, food, suit and everything. At the end, we find that the center of this celebration is No one. He is gone. We act like nothing happen. I think many times about it everytime Christmas season comes. Actually, the question is not, “Where is He”. It’s supposed to be, “Where are we?”.  It is clearly said from Matthew 1 : 23 “See the virgin will become pregnant and give the birth to a son. And, they will name Him IMMANUEl”. Immanuel means God be with us. So, If He is with us, who is gone? We or He?.
Christmas is not just about material things, like food, suits or others thing. But it is the day to remind us about the born of the Redeemer, The savior of the world. He came to save the unworthy person like us so that we can have an eternal relation with The Lord. We can conclude that In this celebration, we are the people who are gone at the party.
The places where we have gone are :
1.       We are in a year routine agenda
We already sign the dates in our agenda to prepare this Christmas. We don’t realize until all of this agenda bind our eyes so that we can’t see a Man with a Crown of throne on His head is looking at us to stop. This routine already stole our sight of this Birthday Man. We don’t know the meaning of why He came. He emptied himself to come but what we want to is all about celebration and happiness. We forget about  the suffering (Fil 2 : 7)
2.       We are in our own happiness perspective
God don’t forbid any person for being happy in the Christmas time. We do have to be happy for we are now saved.  Sometimes, the points of our gratitude are about money, education, or success. The center is all about us. The perspective of our happiness is we get something what we want. The Lord did it differently. Every person wants to have a wealthy life. But Christ emptied Himself until gave himself to us. He wanted to die so that we can be saved. He lost what human wants so much which is Life.
Therefore in this Christmas season may we take a day to rethink about the meaning of the coming of The Lord so that we can engage together in this celebration. This is what I feel when celebrate my boy students’ birthday. I pray that we can grow more be Like Christ. Amen …..



Rabu, 25 Mei 2016

LEPAS
Lepas...
aku menyimpan harta yang tak kuat bertahan
Lepas...
Nafasku menjalin asa namun berujung di perpisahan

Seandainya waktu dapat diulur maka aku rela mundur pada satu alur
Satu cerita dimana kamu dan aku terbiasa berlaku akur

Puisi berisikan sajak patah hati
Dan luka bercairkan perih
Biar aku tahan waktu dan kita tidak akan berlalu
Aku lebih suka membisu dari pada harus membawa siuh
Lepas ...
Heningku berlalu bersama biru
Lepas...
Ramaiku sirna berteman debu
Tapakku tak berbekas di tempat aku menempuh
Maka, berikan aku waktu kembali ke situ!
              
               Lepas....
               Dayaku semu untuk merayu pada sang penentu
               Lepas! Katamu, Katamu Lepas!
               Maka aku menghela napas, langkahku berakhir kandas
              

               

Senin, 09 Mei 2016

BUKAN JODOH
Tangannya memutar gelas kosong. Pikirannya tak berisi, padahal, kini dia penuh, tepat di depannya. Sudah satu jam ruangan riuh ini senyap tanpa suara, seolah bahasa tertelan bersama gelombang besar ketakutan.
Sementara dia memandang mata yang tak melirik. Dia beraga tapi tak berjiwa, padahal, kini nyawanya hidup dan berhadapan dekat.
“Sudah ada yang ingin dipesan?” Pelayan memecah keheningan. Mereka melirik kepada si pelayan. Namun, secepat itu mereka kembali pada khayalan dan keraguan yang tak terkatakan.
Dia kini memutar perhatiannya ke arah seorang pria yang tepat berada di belakangnya. Pria itu duduk seorang diri dan terlihat sangat bahagia dengan es krim cokelat dan smartphone di tangannya. Pria itu membawa dia ke dunia lalu dimana perjuangan terasa memenuhi detik kehidupan. Di kota baru yang tak pernah dia bayangkan.
“Terima kasih untuk kerja samanya melayani di tempat ini selama dua tahun. Sejujurnya, berat bagi kami, selaku pemimpin untuk melepaskan kamu. Kami mengenal dan mengatahui dengan baik bagaimana pelayananmu di tempat ini. Tapi untuk kepentingan pelayanan di tempat yang baru, maka dengan berat hati, kamu dipindah tugaskan melayani di Manado”. Wajahnya pucat setelah mendengar kalimat ini. Padahal sebelum perbincangan ini, bos memberitahukan tentang dana tambahan yang akan diberikan sebesar Rp 1.800.000. Ibarat mendapat durian runtuh, itulah yang sedang dia alami.
“Apa tidak ada pertimbangan lain bos?” tanyanya memelas. “Tidak ada!” Si bos membentak.
Itulah kenyataan hidup yang harus dihadapi. Setiap pertemuan selalu di akhiri dengan perpisahan. Hatinya sakit melepas setiap orang-orang yang sangat dikasihinya, terutama, cintanya. Dia ingat sekali perpisahan yang hanya dipertemukan dengan derasnya air mata dimana kedua bibir sulit untuk bergerak. Saat itu dia ingin mengutarakan isi hati. Apa daya?. Orang-orang sekitar mencoba untuk menghiburnya. Karena di zaman secanggih sekarang mudah untuk manusia saling berhadapan walaupun mereka tinggal di dua pulau yang berbeda. Bagi dia, dengan cinta sebesar itu, menatap wajah berarti menahan rindu. Sehingga, dia memutuskan untuk terus bertahan dengan harapan kalau jodoh akan dipertemukan.  Perlahan dia hapus air mata itu dan kembali bertemu nyawa yang selama ini dinantikan. Ia yang dulu memberikan cinta dengan suara-suara rindu berdenting merdu mengalir di setiap aliran nafasnya. Namun, sekarang dia bisu.
Kini, pikirannya sedikit demi sedikit sudah mulai terisi. Ketika dia menutup mata, pikirannya melayang pada suatu waktu dimana jiwa berpadu namun runtuh dalam sejuta ragu.
“Sudah seminggu kamu tidak memberikan kabar. Adakah sesuatu yang buruk terjadi?”
“Aku sadar jarak bukanlah perbedaan. Bagiku, jarak adalah realita yang sulit untuk diikhlaskan. Berhubungan denganmu berarti menancap perih karena aku hanya bisa memberi cinta lewat udara-udara yang menyentuh aliran tubuhmu”
Itulah kalimat pertama dan terakhir yang diterimanya. Rasa bahagia dan duka bercampur menjadi satu. Bahagianya karena cinta itu kini berbalas. Namun, kesedihannya, dia yang didambakan bernyali lemah untuk bertahan berjuang melawan ruang dan waktu.
Dia mencoba memberanikan diri untuk sekedar bertegur sapa. Namun, nyali mengendur ketika bibirnya mulai bergerak.
“Terlalu banyak waktu yang sudah terbuang. Ada kepentingan apa kamu bertemu aku?” Nadanya membentak tanpa tatapan.
Dia terkejut mendengar pertanyaannya. Semakin bingung menyusun jawaban yang tepat untuk mengutarakan isi hati yang sudah terlalu lama merana.
“Maaf!” Dia menjawab takut menatap
“Kalau maaf bisa merapikan serpihan kaca yang telah tergores dengan keegoisanmu untuk selalu bersama cinta maka dari tadi aku pasti bersuara!”
“Bagimu aku terlalu egois tapi bagiku itu sengsaraku!”
“Bagimu itu sengsara tapi bagiku itu derita. Pahit! Aku bermimpi di sebuh kapal besar yang dasarnya bocor. Air membawaku jatuh, jauh ke dasar yang paling dalam. Kamu tidak ada!”
“Aku ada di sana. Tapi tubuhku terlebih dahulu tenggelam sehingga aku tidak bertenaga menggapai ujung tubuhmu!”
“Berargumen kepahitan tidak akan menyelesaikan masalah. Kita hanya akan saling menukar dan menambah luka. Setiap manusia hidup dalam pilihan untuk mencinta walaupun terluka. Aku sudah terbiasa mengubah luka menjadi cinta” Suaranya meninggalkan dia yang terpaku di depan mata