Senin, 09 Mei 2016

BUKAN JODOH
Tangannya memutar gelas kosong. Pikirannya tak berisi, padahal, kini dia penuh, tepat di depannya. Sudah satu jam ruangan riuh ini senyap tanpa suara, seolah bahasa tertelan bersama gelombang besar ketakutan.
Sementara dia memandang mata yang tak melirik. Dia beraga tapi tak berjiwa, padahal, kini nyawanya hidup dan berhadapan dekat.
“Sudah ada yang ingin dipesan?” Pelayan memecah keheningan. Mereka melirik kepada si pelayan. Namun, secepat itu mereka kembali pada khayalan dan keraguan yang tak terkatakan.
Dia kini memutar perhatiannya ke arah seorang pria yang tepat berada di belakangnya. Pria itu duduk seorang diri dan terlihat sangat bahagia dengan es krim cokelat dan smartphone di tangannya. Pria itu membawa dia ke dunia lalu dimana perjuangan terasa memenuhi detik kehidupan. Di kota baru yang tak pernah dia bayangkan.
“Terima kasih untuk kerja samanya melayani di tempat ini selama dua tahun. Sejujurnya, berat bagi kami, selaku pemimpin untuk melepaskan kamu. Kami mengenal dan mengatahui dengan baik bagaimana pelayananmu di tempat ini. Tapi untuk kepentingan pelayanan di tempat yang baru, maka dengan berat hati, kamu dipindah tugaskan melayani di Manado”. Wajahnya pucat setelah mendengar kalimat ini. Padahal sebelum perbincangan ini, bos memberitahukan tentang dana tambahan yang akan diberikan sebesar Rp 1.800.000. Ibarat mendapat durian runtuh, itulah yang sedang dia alami.
“Apa tidak ada pertimbangan lain bos?” tanyanya memelas. “Tidak ada!” Si bos membentak.
Itulah kenyataan hidup yang harus dihadapi. Setiap pertemuan selalu di akhiri dengan perpisahan. Hatinya sakit melepas setiap orang-orang yang sangat dikasihinya, terutama, cintanya. Dia ingat sekali perpisahan yang hanya dipertemukan dengan derasnya air mata dimana kedua bibir sulit untuk bergerak. Saat itu dia ingin mengutarakan isi hati. Apa daya?. Orang-orang sekitar mencoba untuk menghiburnya. Karena di zaman secanggih sekarang mudah untuk manusia saling berhadapan walaupun mereka tinggal di dua pulau yang berbeda. Bagi dia, dengan cinta sebesar itu, menatap wajah berarti menahan rindu. Sehingga, dia memutuskan untuk terus bertahan dengan harapan kalau jodoh akan dipertemukan.  Perlahan dia hapus air mata itu dan kembali bertemu nyawa yang selama ini dinantikan. Ia yang dulu memberikan cinta dengan suara-suara rindu berdenting merdu mengalir di setiap aliran nafasnya. Namun, sekarang dia bisu.
Kini, pikirannya sedikit demi sedikit sudah mulai terisi. Ketika dia menutup mata, pikirannya melayang pada suatu waktu dimana jiwa berpadu namun runtuh dalam sejuta ragu.
“Sudah seminggu kamu tidak memberikan kabar. Adakah sesuatu yang buruk terjadi?”
“Aku sadar jarak bukanlah perbedaan. Bagiku, jarak adalah realita yang sulit untuk diikhlaskan. Berhubungan denganmu berarti menancap perih karena aku hanya bisa memberi cinta lewat udara-udara yang menyentuh aliran tubuhmu”
Itulah kalimat pertama dan terakhir yang diterimanya. Rasa bahagia dan duka bercampur menjadi satu. Bahagianya karena cinta itu kini berbalas. Namun, kesedihannya, dia yang didambakan bernyali lemah untuk bertahan berjuang melawan ruang dan waktu.
Dia mencoba memberanikan diri untuk sekedar bertegur sapa. Namun, nyali mengendur ketika bibirnya mulai bergerak.
“Terlalu banyak waktu yang sudah terbuang. Ada kepentingan apa kamu bertemu aku?” Nadanya membentak tanpa tatapan.
Dia terkejut mendengar pertanyaannya. Semakin bingung menyusun jawaban yang tepat untuk mengutarakan isi hati yang sudah terlalu lama merana.
“Maaf!” Dia menjawab takut menatap
“Kalau maaf bisa merapikan serpihan kaca yang telah tergores dengan keegoisanmu untuk selalu bersama cinta maka dari tadi aku pasti bersuara!”
“Bagimu aku terlalu egois tapi bagiku itu sengsaraku!”
“Bagimu itu sengsara tapi bagiku itu derita. Pahit! Aku bermimpi di sebuh kapal besar yang dasarnya bocor. Air membawaku jatuh, jauh ke dasar yang paling dalam. Kamu tidak ada!”
“Aku ada di sana. Tapi tubuhku terlebih dahulu tenggelam sehingga aku tidak bertenaga menggapai ujung tubuhmu!”
“Berargumen kepahitan tidak akan menyelesaikan masalah. Kita hanya akan saling menukar dan menambah luka. Setiap manusia hidup dalam pilihan untuk mencinta walaupun terluka. Aku sudah terbiasa mengubah luka menjadi cinta” Suaranya meninggalkan dia yang terpaku di depan mata








Tidak ada komentar:

Posting Komentar