Seakan - akan
Aku udara bebas, seakan-akan kamu ruangan berhampa
Aku air mengalir, seakan-akan kamu api besar membara
Langkahku ke utara, seakan-akan kamu berputar arah ke selatan
Arahku maju ke depan seakan-akan kamu berpaling mundur sendirian
Kalimatku berakhiran koma, seakan-akan kamu menggantikannya tanda titik
Aku kata bersinonim, seakan-akan kamu anonim untuk sinonimku
Seakan-akan dalam pertanyaanku,pernyataanmu mengakhiri akanku bahwa kita bukanlah angka satu
Senin, 25 September 2017
Jumat, 15 September 2017
PANORAMA
"Waktu dulu di pelajaran musik? " Jodi memangku tangan di dagunya sambil menatap mata Aneta.
" Hahahah. Aku inget! Aku inget! Aneta berteriak keras. "Suara kamu hancur banget dulu. Apalagi waktu kalian cowok-cowok nyanyi mukanya pada kayak kodok semua" Aneta tertawa sambil memeragakan gaya mereka dulu bernyanyi.
"Kami buat ulah dengan bermain waktu diminta untuk Humming! "
"Iya! Iya! Aneta memotong cepat. "Akhirnya itu Mr pukul meja keras kan?"
" Kami disuruh minta maaf sama wali kelas kita. Waktu berjalan mencari Mr nya kami malah tertawa mengulang kejadian gimana kami bukannya Humming malah menghormat di kelas. Waktu sudah ketemu gurunya pasang muka pencitraan" Jodi tertawa lepas sampai hampir menangis.
Aneta memegang dada tidak kuat menahan lucunya kejadian masa lalu. "80 persen dari waktu di sekolah adalah pencitraan!". Keduanya tertawa keras sambil mengingat-ingat memori masa lampau yang memang layak untuk dipertahankan.
Tiba-tiba suasana hening. Keduanya duduk berdiam sambil mengaduh gelas yang ada di hadapan masing-masing.
"Aku rindu masa lalu" Aneta memecah keheningan.
"Dulu waktu upacara di sekolah. Panasnya terik sekali. Kamu inget dulu kita pada bawa tisu terus ditempelin di topi supaya keringat tidak menetes. Terus kalau ada guru yang datang itu tisu diambil tapi nanti tisu yang lain dipakai lagi. Kalau pembina upacara selesai berpidato kita semua tepuk tangan bukan karena pidatonya bagus tapi karena itu tandanya upacara sudah mau selesai! Kamu ingat? " Jodi berbicara lelah.
Aneta menarik nafas dan menatap matanya sambil berkata, "Aku sangat ingat Jod! Setiap detik waktu kita dulu di sekolah, aku ingat semua"
Jodi mengalihkan pandangannya. Suasana kembali hening walau sekitar begitu riuh. Tidak ada jiwa yang mau mengalah untuk memulai alur cerita sebenarnya. Setiap hati punya katanya masing-masing namun mulut tidak mau mengakui sehingga udara hanya membawa angin-angin kosong tanpa cerita.
Mereka saling menatap. Keduanya kini memberikan senyum-senyum kecil berharap bisa meramaikan suasana.
"Panorama! Panorama hijau itu adalah suasana impian kita. Kala berlari di padang hijau dimana tanganmu menggenggam erat tanganku terlarut dalam imajinasi bahwa kita hidup pasti bersama. Kini, aku berada di panorama lain menggenggam tangan yang lain" Jodi menetes kan airmata di tengah senyumnya.
Aneta menarik napas pelan. Tangannya mencoba meraih jemaat Jodi. "Manusia berubah seiring berjalannya waktu. Impianmu tetap sama walau tidak di panorama ku dan di genggam tanganku". Kakinya melangkah pelan meninggalkan Jodi dengan segala panorama yang akan dia bangun.
"Waktu dulu di pelajaran musik? " Jodi memangku tangan di dagunya sambil menatap mata Aneta.
" Hahahah. Aku inget! Aku inget! Aneta berteriak keras. "Suara kamu hancur banget dulu. Apalagi waktu kalian cowok-cowok nyanyi mukanya pada kayak kodok semua" Aneta tertawa sambil memeragakan gaya mereka dulu bernyanyi.
"Kami buat ulah dengan bermain waktu diminta untuk Humming! "
"Iya! Iya! Aneta memotong cepat. "Akhirnya itu Mr pukul meja keras kan?"
" Kami disuruh minta maaf sama wali kelas kita. Waktu berjalan mencari Mr nya kami malah tertawa mengulang kejadian gimana kami bukannya Humming malah menghormat di kelas. Waktu sudah ketemu gurunya pasang muka pencitraan" Jodi tertawa lepas sampai hampir menangis.
Aneta memegang dada tidak kuat menahan lucunya kejadian masa lalu. "80 persen dari waktu di sekolah adalah pencitraan!". Keduanya tertawa keras sambil mengingat-ingat memori masa lampau yang memang layak untuk dipertahankan.
Tiba-tiba suasana hening. Keduanya duduk berdiam sambil mengaduh gelas yang ada di hadapan masing-masing.
"Aku rindu masa lalu" Aneta memecah keheningan.
"Dulu waktu upacara di sekolah. Panasnya terik sekali. Kamu inget dulu kita pada bawa tisu terus ditempelin di topi supaya keringat tidak menetes. Terus kalau ada guru yang datang itu tisu diambil tapi nanti tisu yang lain dipakai lagi. Kalau pembina upacara selesai berpidato kita semua tepuk tangan bukan karena pidatonya bagus tapi karena itu tandanya upacara sudah mau selesai! Kamu ingat? " Jodi berbicara lelah.
Aneta menarik nafas dan menatap matanya sambil berkata, "Aku sangat ingat Jod! Setiap detik waktu kita dulu di sekolah, aku ingat semua"
Jodi mengalihkan pandangannya. Suasana kembali hening walau sekitar begitu riuh. Tidak ada jiwa yang mau mengalah untuk memulai alur cerita sebenarnya. Setiap hati punya katanya masing-masing namun mulut tidak mau mengakui sehingga udara hanya membawa angin-angin kosong tanpa cerita.
Mereka saling menatap. Keduanya kini memberikan senyum-senyum kecil berharap bisa meramaikan suasana.
"Panorama! Panorama hijau itu adalah suasana impian kita. Kala berlari di padang hijau dimana tanganmu menggenggam erat tanganku terlarut dalam imajinasi bahwa kita hidup pasti bersama. Kini, aku berada di panorama lain menggenggam tangan yang lain" Jodi menetes kan airmata di tengah senyumnya.
Aneta menarik napas pelan. Tangannya mencoba meraih jemaat Jodi. "Manusia berubah seiring berjalannya waktu. Impianmu tetap sama walau tidak di panorama ku dan di genggam tanganku". Kakinya melangkah pelan meninggalkan Jodi dengan segala panorama yang akan dia bangun.
Mana Bisa!
Mana bisa langit menyentuh tanah! Di atas ketinggian, di dasar kerendahan, perpisahan adalah kenyataan pada suatu perbedaan dalam suatu langkah yang mengarah pada ketiada ujungan.
Manabisa daun selalu menempel di ranting! Sekeras berjuang, seketika melepas maka aku memupuskan hati pada suatu penolakan!
Manabisa malam berpapasan dengan pagi! Mengalah adalah pilihan untuk suatu hari. Seketika aku sadar hatimu tak bisa dimiliki!
Manabisa! Manabisa sayangku karena engkau adalah BELAHAN dari jiwaku yang dengan segala langkah seok berlari untuk sekedar menyentuh ujung jari hatimu!
Marilah sayangku bagaimana bisanya agar kamu tahu mana bisa aku tidak bisa mengikuti bayangan yang membiasakan ku bertahan di mana Bisa ku!
Mana bisa langit menyentuh tanah! Di atas ketinggian, di dasar kerendahan, perpisahan adalah kenyataan pada suatu perbedaan dalam suatu langkah yang mengarah pada ketiada ujungan.
Manabisa daun selalu menempel di ranting! Sekeras berjuang, seketika melepas maka aku memupuskan hati pada suatu penolakan!
Manabisa malam berpapasan dengan pagi! Mengalah adalah pilihan untuk suatu hari. Seketika aku sadar hatimu tak bisa dimiliki!
Manabisa! Manabisa sayangku karena engkau adalah BELAHAN dari jiwaku yang dengan segala langkah seok berlari untuk sekedar menyentuh ujung jari hatimu!
Marilah sayangku bagaimana bisanya agar kamu tahu mana bisa aku tidak bisa mengikuti bayangan yang membiasakan ku bertahan di mana Bisa ku!
Langganan:
Postingan (Atom)