Di ambang pilu
"Looking for the Window Above it's like a story of us. Can you hear me? ". Hendrik mendengarkan lagi favoritnya sambil terlentang di atas tempat tidur.
'Bang.... ! Bang.... ! Ada Via nyariin kamu. Bang! Bang! Mamanya berjalan menuju pintu kamarnya. Sambil mengetuk pintu,"Bang! Bang!". Karena tidak ada respon, Mamanya terpaksa membuka pintu. Seketika, dia melihat anak semata wayangnya terlelap di atas kasur. "Bang! Bang!" Sambil menepuk pelan pipi Hendrik mencoba untuk membangunkannya.
" Aduh ma! Apaan sih! Masih pagi juga. Aku masih ngantuk banget ma. Nanti aja deh perginya! Please!!" Hendrik mengempalkan jari-jarinya memohon.
Mamanya mencopot headset yang berbunyi keras di telinganya. "Bisa meledak kuping kamu kalau musiknya sekeras ini! Ada Via tuh di depan udah dari tadi ternyata!"
"Ngapain lagi sih! Gak ah! Bilang aja aku capek! "
"Gak boleh gitu! Dia udah dua jam di depan dari semenjak mama pergi ke pasar deh kayaknya. Ayok cepat temui sana!"
"Males ah. Udah bosan aku juga! Mendingan tidur".
Mamanya terus menepuk-nepuk pundaknya sampai dia kesal. "Mama dulu ngidam kerbau deh kayaknya waktu hamil kamu. Kok tidur udah kayak orang mati gini! Ayo ah kasian anak cewek di depan gitu".
"Dia yang mau, ngapain dikasihani! Mama bilang aja, "Hendrik lagi capek. Kamu pulang aja istirahat di rumah" pasti dia nurut! Udah ah, aku mau tidur!.
"Ndrik! Ada via tuh nungguin kamu di kantin. Dia udah pesan dua mangkok bakso. Lagian ngapain sih di kelas terus? "
"Aku belum lapar!"
"Kalau kamu lama bisa dingin baksonya udah gak sedap lagi nanti. Pergi makan bareng pacar Hmmm nambah makin sedap".
" Gak selera makan bakso bro! Pengen yang dingin-dingin"
"Kamu memang aneh! Cuaca mendung begini malah pengen yang dingin"
"Dingin-dingin enaknya makan es krim terus tidur nyenyak di atas kasur"
"Ya ampun! Kasihan dia, Ndrik! Udah dari awal istirahat nungguin kamu. Anak cantik begitu kenapa sih selalu kamu phpin! "
" Dia yang mau, ngapain dikasihani! Kamu pergi aja temui dia terus bilang, "Kata Hendrik baksonya disumbangkan untuk aku" pasti dia mau! Sambil menepuk-nepuk pundak temannya.
"Halo ndrik! Via udah di jalan depan gang rumah kamu. Udah ketemu belum?"
"Lah! Aku udah di depan rumah Indah ni. Udah mulai pesatnya? "
"Gimana caranya kamu ke sini? "
" Ada transportasi yang namanya gojek mbak! "
" Oh iya yah. Aduh tapi gimana ini si Via udah di depan rumah kamu? Udah dua jam kayaknya nungguin!"
"Kok bisa sih. Dia gak ada kabarin aku. Mau gimana lagi aku tinggal selangkah lagi ni masuk"
"Ya, kamu balik dong! Kasian anak orang udah nunggu berjam-jam rusak tuh make upnya pasti! "
" Dia yang mau, ngapain dikasihani! Kamu bilang aja sama dia, "Hendrik bilang kamu gak usah datang tidur aja di rumah nanti masuk angin" pasti dia pulang! Hendrik mematikan ponselnya.
Sabtu
18.00 "Aku udah di Cafe biasa" isi pesan line Via untuk Hendrik.
20.23 "Pulang aja!"
20.24 "Ok"
Selasa
05.00 "Aku gak masuk sekolah kayaknya gak enak badan" isi pesan line Via untuk Hendrik.
22.01 "ok"
Kamis, 21 Juli 2017
00.01 "Happy anniversary yang kedua" isi pesan line Via untuk Hendrik.
23.58 "ok"
Minggu
15.00 "Ndrik" Isi pesan line Via untuk Hendrik.
20.00 "Hp lowBatt"
Minggu
21.00 "Woiiiii!" Isi pesan Hendrik untuk Via.
21.01 " Ya"
23.48 "Salah kirim!"
23.49 "ok"
Sabtu
18.00 "Aku udah di Cafe biasa" isi pesan line via untuk Hendrik
20.00 "Okay, aku otw!"
Jantung Via berdetak cepat tidak sabar untuk bertemu dengan kekasih pertamanya itu.
20.00 "ok"
21.30
Via keluar dari toilet dan menuju ke tempat makan sambil menanti Hendrik. Langkahnya lemas karena dia menduga bahwa kekasihnya itu mungkin tidak datang. Pandangnya menunduk mungkin kekasihnya akan mengingkar kembali.
"Maaf, aku lama! "
Suara itu menelusuk ke relung hati dan mengangkat kembali kepala yang terbawa jatuh oleh ratapan hati.
Sambil memainkan jarinya, Via hanya berani menatap mata tanpa harus bersuara.
" Kalau kita putus, kamu mau?" Hendrik mendekati wajah ke arah kekasihnya.
Via memainkan jarinya di atas meja. Pandangnya sudah tidak fokus, mencari arah untuk mengerti dimana salahnya dalam kasus ini.
"Nanti aku hubungi lagi soalnya mama udah minta jemput dari rumah temennya' Hendrik melangkah meninggalkannya jauh-jauh.
Selasa, 26 Desember 2017
Senin, 25 September 2017
Seakan - akan
Aku udara bebas, seakan-akan kamu ruangan berhampa
Aku air mengalir, seakan-akan kamu api besar membara
Langkahku ke utara, seakan-akan kamu berputar arah ke selatan
Arahku maju ke depan seakan-akan kamu berpaling mundur sendirian
Kalimatku berakhiran koma, seakan-akan kamu menggantikannya tanda titik
Aku kata bersinonim, seakan-akan kamu anonim untuk sinonimku
Seakan-akan dalam pertanyaanku,pernyataanmu mengakhiri akanku bahwa kita bukanlah angka satu
Aku udara bebas, seakan-akan kamu ruangan berhampa
Aku air mengalir, seakan-akan kamu api besar membara
Langkahku ke utara, seakan-akan kamu berputar arah ke selatan
Arahku maju ke depan seakan-akan kamu berpaling mundur sendirian
Kalimatku berakhiran koma, seakan-akan kamu menggantikannya tanda titik
Aku kata bersinonim, seakan-akan kamu anonim untuk sinonimku
Seakan-akan dalam pertanyaanku,pernyataanmu mengakhiri akanku bahwa kita bukanlah angka satu
Jumat, 15 September 2017
PANORAMA
"Waktu dulu di pelajaran musik? " Jodi memangku tangan di dagunya sambil menatap mata Aneta.
" Hahahah. Aku inget! Aku inget! Aneta berteriak keras. "Suara kamu hancur banget dulu. Apalagi waktu kalian cowok-cowok nyanyi mukanya pada kayak kodok semua" Aneta tertawa sambil memeragakan gaya mereka dulu bernyanyi.
"Kami buat ulah dengan bermain waktu diminta untuk Humming! "
"Iya! Iya! Aneta memotong cepat. "Akhirnya itu Mr pukul meja keras kan?"
" Kami disuruh minta maaf sama wali kelas kita. Waktu berjalan mencari Mr nya kami malah tertawa mengulang kejadian gimana kami bukannya Humming malah menghormat di kelas. Waktu sudah ketemu gurunya pasang muka pencitraan" Jodi tertawa lepas sampai hampir menangis.
Aneta memegang dada tidak kuat menahan lucunya kejadian masa lalu. "80 persen dari waktu di sekolah adalah pencitraan!". Keduanya tertawa keras sambil mengingat-ingat memori masa lampau yang memang layak untuk dipertahankan.
Tiba-tiba suasana hening. Keduanya duduk berdiam sambil mengaduh gelas yang ada di hadapan masing-masing.
"Aku rindu masa lalu" Aneta memecah keheningan.
"Dulu waktu upacara di sekolah. Panasnya terik sekali. Kamu inget dulu kita pada bawa tisu terus ditempelin di topi supaya keringat tidak menetes. Terus kalau ada guru yang datang itu tisu diambil tapi nanti tisu yang lain dipakai lagi. Kalau pembina upacara selesai berpidato kita semua tepuk tangan bukan karena pidatonya bagus tapi karena itu tandanya upacara sudah mau selesai! Kamu ingat? " Jodi berbicara lelah.
Aneta menarik nafas dan menatap matanya sambil berkata, "Aku sangat ingat Jod! Setiap detik waktu kita dulu di sekolah, aku ingat semua"
Jodi mengalihkan pandangannya. Suasana kembali hening walau sekitar begitu riuh. Tidak ada jiwa yang mau mengalah untuk memulai alur cerita sebenarnya. Setiap hati punya katanya masing-masing namun mulut tidak mau mengakui sehingga udara hanya membawa angin-angin kosong tanpa cerita.
Mereka saling menatap. Keduanya kini memberikan senyum-senyum kecil berharap bisa meramaikan suasana.
"Panorama! Panorama hijau itu adalah suasana impian kita. Kala berlari di padang hijau dimana tanganmu menggenggam erat tanganku terlarut dalam imajinasi bahwa kita hidup pasti bersama. Kini, aku berada di panorama lain menggenggam tangan yang lain" Jodi menetes kan airmata di tengah senyumnya.
Aneta menarik napas pelan. Tangannya mencoba meraih jemaat Jodi. "Manusia berubah seiring berjalannya waktu. Impianmu tetap sama walau tidak di panorama ku dan di genggam tanganku". Kakinya melangkah pelan meninggalkan Jodi dengan segala panorama yang akan dia bangun.
"Waktu dulu di pelajaran musik? " Jodi memangku tangan di dagunya sambil menatap mata Aneta.
" Hahahah. Aku inget! Aku inget! Aneta berteriak keras. "Suara kamu hancur banget dulu. Apalagi waktu kalian cowok-cowok nyanyi mukanya pada kayak kodok semua" Aneta tertawa sambil memeragakan gaya mereka dulu bernyanyi.
"Kami buat ulah dengan bermain waktu diminta untuk Humming! "
"Iya! Iya! Aneta memotong cepat. "Akhirnya itu Mr pukul meja keras kan?"
" Kami disuruh minta maaf sama wali kelas kita. Waktu berjalan mencari Mr nya kami malah tertawa mengulang kejadian gimana kami bukannya Humming malah menghormat di kelas. Waktu sudah ketemu gurunya pasang muka pencitraan" Jodi tertawa lepas sampai hampir menangis.
Aneta memegang dada tidak kuat menahan lucunya kejadian masa lalu. "80 persen dari waktu di sekolah adalah pencitraan!". Keduanya tertawa keras sambil mengingat-ingat memori masa lampau yang memang layak untuk dipertahankan.
Tiba-tiba suasana hening. Keduanya duduk berdiam sambil mengaduh gelas yang ada di hadapan masing-masing.
"Aku rindu masa lalu" Aneta memecah keheningan.
"Dulu waktu upacara di sekolah. Panasnya terik sekali. Kamu inget dulu kita pada bawa tisu terus ditempelin di topi supaya keringat tidak menetes. Terus kalau ada guru yang datang itu tisu diambil tapi nanti tisu yang lain dipakai lagi. Kalau pembina upacara selesai berpidato kita semua tepuk tangan bukan karena pidatonya bagus tapi karena itu tandanya upacara sudah mau selesai! Kamu ingat? " Jodi berbicara lelah.
Aneta menarik nafas dan menatap matanya sambil berkata, "Aku sangat ingat Jod! Setiap detik waktu kita dulu di sekolah, aku ingat semua"
Jodi mengalihkan pandangannya. Suasana kembali hening walau sekitar begitu riuh. Tidak ada jiwa yang mau mengalah untuk memulai alur cerita sebenarnya. Setiap hati punya katanya masing-masing namun mulut tidak mau mengakui sehingga udara hanya membawa angin-angin kosong tanpa cerita.
Mereka saling menatap. Keduanya kini memberikan senyum-senyum kecil berharap bisa meramaikan suasana.
"Panorama! Panorama hijau itu adalah suasana impian kita. Kala berlari di padang hijau dimana tanganmu menggenggam erat tanganku terlarut dalam imajinasi bahwa kita hidup pasti bersama. Kini, aku berada di panorama lain menggenggam tangan yang lain" Jodi menetes kan airmata di tengah senyumnya.
Aneta menarik napas pelan. Tangannya mencoba meraih jemaat Jodi. "Manusia berubah seiring berjalannya waktu. Impianmu tetap sama walau tidak di panorama ku dan di genggam tanganku". Kakinya melangkah pelan meninggalkan Jodi dengan segala panorama yang akan dia bangun.
Mana Bisa!
Mana bisa langit menyentuh tanah! Di atas ketinggian, di dasar kerendahan, perpisahan adalah kenyataan pada suatu perbedaan dalam suatu langkah yang mengarah pada ketiada ujungan.
Manabisa daun selalu menempel di ranting! Sekeras berjuang, seketika melepas maka aku memupuskan hati pada suatu penolakan!
Manabisa malam berpapasan dengan pagi! Mengalah adalah pilihan untuk suatu hari. Seketika aku sadar hatimu tak bisa dimiliki!
Manabisa! Manabisa sayangku karena engkau adalah BELAHAN dari jiwaku yang dengan segala langkah seok berlari untuk sekedar menyentuh ujung jari hatimu!
Marilah sayangku bagaimana bisanya agar kamu tahu mana bisa aku tidak bisa mengikuti bayangan yang membiasakan ku bertahan di mana Bisa ku!
Mana bisa langit menyentuh tanah! Di atas ketinggian, di dasar kerendahan, perpisahan adalah kenyataan pada suatu perbedaan dalam suatu langkah yang mengarah pada ketiada ujungan.
Manabisa daun selalu menempel di ranting! Sekeras berjuang, seketika melepas maka aku memupuskan hati pada suatu penolakan!
Manabisa malam berpapasan dengan pagi! Mengalah adalah pilihan untuk suatu hari. Seketika aku sadar hatimu tak bisa dimiliki!
Manabisa! Manabisa sayangku karena engkau adalah BELAHAN dari jiwaku yang dengan segala langkah seok berlari untuk sekedar menyentuh ujung jari hatimu!
Marilah sayangku bagaimana bisanya agar kamu tahu mana bisa aku tidak bisa mengikuti bayangan yang membiasakan ku bertahan di mana Bisa ku!
Minggu, 28 Mei 2017
SUATU MALAM DI KOLONG LANGIT RANOTANA
“Kak, so datang ambe pa ngana itu
mau jalan!”
“Iya bilang jo basabar akang!”
Bagiku tujuan
wanita adalah terlihat cantik. Sempurna dalam hal berias. Aku tidak boleh kalah
dengan perempuan – perempuan di luar sana. Bukankah daya tarik wanita terlihat
dari bagusnya bentuk wajah? Tidak ada alasan bagi pria untuk berpaling jika dia
selalu betah untuk memandangnya.
Delpi adalah
laki – laki yang kali ini aku izinkan berlama – lama memandang wajah. Aku suka
dia karena hanya akan membawaku pada waktu malam saja. Pada malam wajahku akan terlihat
lebih bersahaja.
“Sudah terlalu
lama aku di depan kaca! Jangan sampai dia bosan menunggu di luar!”
Kami tiba di
resto tempat dia biasa bertemu dengan teman – temanya. Seperti biasa mereka
akan memuji aku apa adanya di lima menit pertama. Sementara aku sudah 4 jam mencoba
bercengkramah. Jauh dari perkiraan! Aku kira mereka akan selalu membahasku.
Ternyata hanya berhenti disitu, di lima menit saja!
Aku kini
gelisah menanti kapan kita berlalu sehingga aku bisa menuju kamar untuk
membahas dan menikmati diriku sepanjang waktu. Gerakan jemariku menunjukkan
betapa inginnya aku menyudahi perkataan. Jangankan menggubris melirik saja mereka
tidak! Apa yang salah denganku? Tahukah kalian butuh waktu tiga jam untuk aku memperlihatkan
kecantikan? Hei, Kemarilah! Lihat rambutku! Lurus, tidak bercabang, bahkan tak
ada keriting – keriting kecil yang menghalau jalurnya! Rapatlah kesini! Lihat
kulitku! Adakah kau temukan bercak –bercak senila yang mengganggu warnanya!
Mari aku pertontonkan lekukan tubuhku! Adakah lemak-lemak yang menggumpal
menggangu pemandanganmu? Perhatikanlah aku mengapa kalian semua diam? Aku hanya
menahan suara karena perkataanku terucap di dalam hati saja. Lanjutkanlah lagi
bercerita sekalian aku menguji jiwa berapa lama bertahan tanpa dipuja!
Mataku
mengarah menuju gerakan – gerakan bibir kalian. Hingga aku menemukan bahwa
pengucapan – pengucapan yang keluar hanya tentang mencari harta. Mempertahankan
kuasa karna takut dipandang rendah. Mata kalian terus mendongak ke atas takut
patah leher katanya kalau menunduk ke bawah. Lusa katanya kalian mau ke
Australi. Minggu depan bertamasya ke Jepang. Bulan berikutnya berharap berkeliling
dunia. Ah! Aku suka di sini. Di bawah kolong langit ini karena ada sebuah kisah
tentang seorang wanita disini.
Wanita yang
sekarang sedang mengarahkan pandang ke sekitar. Mengintai, berharap menemukan
jiwa yang rela memberi puja untuk usaha mencapai sempurna wajahnya. Wanita yang
akhirnya menyerah dan mengaku kalah dengan dunia karena usahanya tak berbanding
dengan realita. Linglung dia mencari arah untuk sejenak membuang duka atas
kenyataan dunia. Pandangnya kini berbentur dengan sebuah pintu kosong yang
memaksanya untuk bertemu. Pintu itu kini membawa jiwanya keluar menuju pada
suatu kolong langit dalam suatu kegelapan yang sangat dia sukai. Kolong itu
dihiasi bunga – bunga merah yang memanjang. Rasanya ingin menarik cabangnya
tapi sayang karena dia tahu betapa susahnya untuk menjadi cantik seperti mereka.
Dia duduk di sebuah semen di antara bunga – bunga sambil memandang malam dengan
segala bintang yang meriasi wajahnya. Cahaya wajahnya kelap – kelip,
memperlihatkan lekukan langit yang
sangat ingin dipuji . Dia tahu benar berapa lama langit berusaha untuk
menyempurnakan wajahnya. Maka dia mensyukuri dan memuji kemuliaan di dalam
tampilannya. Tapi di situ tersayat hatinya dan memastikan realita usaha langit
seperti percuma karna hanya dia dan bunga – bunga yang memandang tanpa berkata.
Bahkan mulutnya sendiri terkatup, hanya berani bersuara di dalam hati sama
seperti benda – benda mati di sekelilingnya. Kini dia meremas jemari mencoba
menerima realita bahwa kecantikannya ternyata tak dipandang oleh semua. Sama
seperti langit dengan cahanya indahnya, memberi rasa tanpa dipuja. Berapa waktu
kini dia hanya mencoba menikmati langit malam yang akan segera berlalu bersama
cantiknya. Di bawah kolong langit Ranotana, seorang wanita yang berharap indah
namun terluka karena realita cantik tak selamanya!
Langganan:
Postingan (Atom)