BUKAN JODOH
Tangannya
memutar gelas kosong. Pikirannya tak berisi, padahal, kini dia penuh, tepat di
depannya. Sudah satu jam ruangan riuh ini senyap tanpa suara, seolah bahasa
tertelan bersama gelombang besar ketakutan.
Sementara dia
memandang mata yang tak melirik. Dia beraga tapi tak berjiwa, padahal, kini
nyawanya hidup dan berhadapan dekat.
“Sudah ada yang ingin dipesan?”
Pelayan memecah keheningan. Mereka melirik kepada si pelayan. Namun, secepat
itu mereka kembali pada khayalan dan keraguan yang tak terkatakan.
Dia kini memutar
perhatiannya ke arah seorang pria yang tepat berada di belakangnya. Pria itu
duduk seorang diri dan terlihat sangat bahagia dengan es krim cokelat dan smartphone di tangannya. Pria itu
membawa dia ke dunia lalu dimana perjuangan terasa memenuhi detik kehidupan. Di
kota baru yang tak pernah dia bayangkan.
“Terima kasih
untuk kerja samanya melayani di tempat ini selama dua tahun. Sejujurnya, berat
bagi kami, selaku pemimpin untuk melepaskan kamu. Kami mengenal dan mengatahui
dengan baik bagaimana pelayananmu di tempat ini. Tapi untuk kepentingan
pelayanan di tempat yang baru, maka dengan berat hati, kamu dipindah tugaskan
melayani di Manado”. Wajahnya pucat setelah mendengar kalimat ini. Padahal
sebelum perbincangan ini, bos memberitahukan tentang dana tambahan yang akan
diberikan sebesar Rp 1.800.000. Ibarat mendapat durian runtuh, itulah yang
sedang dia alami.
“Apa tidak ada pertimbangan lain
bos?” tanyanya memelas. “Tidak ada!” Si bos membentak.
Itulah kenyataan
hidup yang harus dihadapi. Setiap pertemuan selalu di akhiri dengan perpisahan.
Hatinya sakit melepas setiap orang-orang yang sangat dikasihinya, terutama,
cintanya. Dia ingat sekali perpisahan yang hanya dipertemukan dengan derasnya
air mata dimana kedua bibir sulit untuk bergerak. Saat itu dia ingin
mengutarakan isi hati. Apa daya?. Orang-orang sekitar mencoba untuk
menghiburnya. Karena di zaman secanggih sekarang mudah untuk manusia saling
berhadapan walaupun mereka tinggal di dua pulau yang berbeda. Bagi dia, dengan
cinta sebesar itu, menatap wajah berarti menahan rindu. Sehingga, dia
memutuskan untuk terus bertahan dengan harapan kalau jodoh akan dipertemukan. Perlahan dia hapus air mata itu dan kembali
bertemu nyawa yang selama ini dinantikan. Ia yang dulu memberikan cinta dengan
suara-suara rindu berdenting merdu mengalir di setiap aliran nafasnya. Namun,
sekarang dia bisu.
Kini, pikirannya
sedikit demi sedikit sudah mulai terisi. Ketika dia menutup mata, pikirannya
melayang pada suatu waktu dimana jiwa berpadu namun runtuh dalam sejuta ragu.
“Sudah seminggu kamu tidak memberikan kabar.
Adakah sesuatu yang buruk terjadi?”
“Aku sadar jarak bukanlah perbedaan. Bagiku,
jarak adalah realita yang sulit untuk diikhlaskan. Berhubungan denganmu berarti
menancap perih karena aku hanya bisa memberi cinta lewat udara-udara yang
menyentuh aliran tubuhmu”
Itulah kalimat
pertama dan terakhir yang diterimanya. Rasa bahagia dan duka bercampur menjadi
satu. Bahagianya karena cinta itu kini berbalas. Namun, kesedihannya, dia yang
didambakan bernyali lemah untuk bertahan berjuang melawan ruang dan waktu.
Dia mencoba
memberanikan diri untuk sekedar bertegur sapa. Namun, nyali mengendur ketika
bibirnya mulai bergerak.
“Terlalu banyak
waktu yang sudah terbuang. Ada kepentingan apa kamu bertemu aku?” Nadanya
membentak tanpa tatapan.
Dia terkejut
mendengar pertanyaannya. Semakin bingung menyusun jawaban yang tepat untuk
mengutarakan isi hati yang sudah terlalu lama merana.
“Maaf!” Dia
menjawab takut menatap
“Kalau maaf bisa
merapikan serpihan kaca yang telah tergores dengan keegoisanmu untuk selalu
bersama cinta maka dari tadi aku pasti bersuara!”
“Bagimu aku
terlalu egois tapi bagiku itu sengsaraku!”
“Bagimu itu
sengsara tapi bagiku itu derita. Pahit! Aku bermimpi di sebuh kapal besar yang
dasarnya bocor. Air membawaku jatuh, jauh ke dasar yang paling dalam. Kamu
tidak ada!”
“Aku ada di
sana. Tapi tubuhku terlebih dahulu tenggelam sehingga aku tidak bertenaga
menggapai ujung tubuhmu!”
“Berargumen
kepahitan tidak akan menyelesaikan masalah. Kita hanya akan saling menukar dan
menambah luka. Setiap manusia hidup dalam pilihan untuk mencinta walaupun
terluka. Aku sudah terbiasa mengubah luka menjadi cinta” Suaranya meninggalkan
dia yang terpaku di depan mata