SUATU MALAM DI KOLONG LANGIT RANOTANA
“Kak, so datang ambe pa ngana itu
mau jalan!”
“Iya bilang jo basabar akang!”
Bagiku tujuan
wanita adalah terlihat cantik. Sempurna dalam hal berias. Aku tidak boleh kalah
dengan perempuan – perempuan di luar sana. Bukankah daya tarik wanita terlihat
dari bagusnya bentuk wajah? Tidak ada alasan bagi pria untuk berpaling jika dia
selalu betah untuk memandangnya.
Delpi adalah
laki – laki yang kali ini aku izinkan berlama – lama memandang wajah. Aku suka
dia karena hanya akan membawaku pada waktu malam saja. Pada malam wajahku akan terlihat
lebih bersahaja.
“Sudah terlalu
lama aku di depan kaca! Jangan sampai dia bosan menunggu di luar!”
Kami tiba di
resto tempat dia biasa bertemu dengan teman – temanya. Seperti biasa mereka
akan memuji aku apa adanya di lima menit pertama. Sementara aku sudah 4 jam mencoba
bercengkramah. Jauh dari perkiraan! Aku kira mereka akan selalu membahasku.
Ternyata hanya berhenti disitu, di lima menit saja!
Aku kini
gelisah menanti kapan kita berlalu sehingga aku bisa menuju kamar untuk
membahas dan menikmati diriku sepanjang waktu. Gerakan jemariku menunjukkan
betapa inginnya aku menyudahi perkataan. Jangankan menggubris melirik saja mereka
tidak! Apa yang salah denganku? Tahukah kalian butuh waktu tiga jam untuk aku memperlihatkan
kecantikan? Hei, Kemarilah! Lihat rambutku! Lurus, tidak bercabang, bahkan tak
ada keriting – keriting kecil yang menghalau jalurnya! Rapatlah kesini! Lihat
kulitku! Adakah kau temukan bercak –bercak senila yang mengganggu warnanya!
Mari aku pertontonkan lekukan tubuhku! Adakah lemak-lemak yang menggumpal
menggangu pemandanganmu? Perhatikanlah aku mengapa kalian semua diam? Aku hanya
menahan suara karena perkataanku terucap di dalam hati saja. Lanjutkanlah lagi
bercerita sekalian aku menguji jiwa berapa lama bertahan tanpa dipuja!
Mataku
mengarah menuju gerakan – gerakan bibir kalian. Hingga aku menemukan bahwa
pengucapan – pengucapan yang keluar hanya tentang mencari harta. Mempertahankan
kuasa karna takut dipandang rendah. Mata kalian terus mendongak ke atas takut
patah leher katanya kalau menunduk ke bawah. Lusa katanya kalian mau ke
Australi. Minggu depan bertamasya ke Jepang. Bulan berikutnya berharap berkeliling
dunia. Ah! Aku suka di sini. Di bawah kolong langit ini karena ada sebuah kisah
tentang seorang wanita disini.
Wanita yang
sekarang sedang mengarahkan pandang ke sekitar. Mengintai, berharap menemukan
jiwa yang rela memberi puja untuk usaha mencapai sempurna wajahnya. Wanita yang
akhirnya menyerah dan mengaku kalah dengan dunia karena usahanya tak berbanding
dengan realita. Linglung dia mencari arah untuk sejenak membuang duka atas
kenyataan dunia. Pandangnya kini berbentur dengan sebuah pintu kosong yang
memaksanya untuk bertemu. Pintu itu kini membawa jiwanya keluar menuju pada
suatu kolong langit dalam suatu kegelapan yang sangat dia sukai. Kolong itu
dihiasi bunga – bunga merah yang memanjang. Rasanya ingin menarik cabangnya
tapi sayang karena dia tahu betapa susahnya untuk menjadi cantik seperti mereka.
Dia duduk di sebuah semen di antara bunga – bunga sambil memandang malam dengan
segala bintang yang meriasi wajahnya. Cahaya wajahnya kelap – kelip,
memperlihatkan lekukan langit yang
sangat ingin dipuji . Dia tahu benar berapa lama langit berusaha untuk
menyempurnakan wajahnya. Maka dia mensyukuri dan memuji kemuliaan di dalam
tampilannya. Tapi di situ tersayat hatinya dan memastikan realita usaha langit
seperti percuma karna hanya dia dan bunga – bunga yang memandang tanpa berkata.
Bahkan mulutnya sendiri terkatup, hanya berani bersuara di dalam hati sama
seperti benda – benda mati di sekelilingnya. Kini dia meremas jemari mencoba
menerima realita bahwa kecantikannya ternyata tak dipandang oleh semua. Sama
seperti langit dengan cahanya indahnya, memberi rasa tanpa dipuja. Berapa waktu
kini dia hanya mencoba menikmati langit malam yang akan segera berlalu bersama
cantiknya. Di bawah kolong langit Ranotana, seorang wanita yang berharap indah
namun terluka karena realita cantik tak selamanya!